Beranda | Artikel
Sebelas Hal Yang Termasuk Fithrah
Kamis, 12 September 2019

SEBELAS HAL YANG TERMASUK FITRAH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُاللهِ  صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَشْرٌ مِنَ الفِطْرَةِ : قَصُّ الشَّارِبِ، وَإعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ الْأظْفَارِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ  قَالَ الرَّاوِيْ : وَنَسِيْتُ الْعَاشِرَةَ ،إِلاَّ أنْ تَكُوْنَ الْمَضْمَضَةُ

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sepuluh hal yang termasuk fitrah: (1) mencukur kumis, (2) memanjangkan jenggot, (3) bersiwak, (4) menghirup air ke  hidung (ketika wudhu), (5) memotong kuku, (6) mencuci ruas-ruas jari, (7) mencabut bulu ketiak, (8) mencukur bulu kemaluan, (9) bercebok.’” Perawi berkata, “Aku lupa yang kesepuluh, mungkin berkumur-kumur.”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Muslim (no. 261); Abu Dâwud (no. 53); at-Tirmidzi (no. 2757); an-Nasa-i (VIII/126-128), dan Ibnu Mâjah (no. 293).

Dalam hadits ini terdapat râwi yang dha’îf (lemah). Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 4009) dan Hidâyatur Ruwât ilâ Takhrîji Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykât (no. 364) dengan beberapa syawahid (penguat)nya.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu secara marfû’, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ : اَلْخِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ

Lima hal yang termasuk fitrah: (1) berkhitan, (2) mencukur bulu kemaluan, (3) memotong kuku, (4) mencabut bulu ketiak, dan (5) memotong kumis.[1]

KOSA-KATA HADITS

  • اَلْفِطْرَةُ : Berasal dari kata فَطَرَ, seperti dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ …

Setiap manusia dilahirkan di atas fitrah

Maksudnya, bahwa dia dilahirkan dengan perangai dan tabiat yang siap menerima agama. Jika dibiarkan seperti itu, maka dia akan terus berada di atas fitrah, tidak berpaling kepada yang lainnya. Adapun yang berpaling dari fitrah tersebut yaitu orang yang berpaling karena salah satu dari hal-hal yang merusak manusia dan taklid.[2]

Fitrah yaitu sifat bawaan yang ada pada segala sesuatu pada saat diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla . Fitrah merupakan tabiat yang bersih, tidak dikotori oleh aib. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allâh disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan  pada ciptaan Allâh...” [ar-Rûm/30:30]

Fitrah yang sehat (dalam istilah falsafat) yaitu kesiapan untuk mengambil hukum dan membedakan antara yang hak dan yang bathil.”[3]

Ibnu Manzhûr rahimahullah berkata, “Fitrah adalah apa-apa yang Allâh menciptakan makhluk di atas hal tersebut, yaitu mengenal Allâh.”

Abul Haitsam rahimahullah berkata, “Fitrah yaitu pembawaaan (naluri) yang Allâh ciptakan manusia di atasnya pada saat di dalam perut ibunya.”[4]

Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa fitrah ada dua macam. Pertama, fitrah yang berkaitan dengan hati, yaitu ma’rifatullâh (mengenal Allâh) dan mencintai-Nya serta mengutamakan-Nya lebih daripada yang lain. Kedua, fitrah ‘amaliyyah (perbuatan), yaitu hal-hal yang disebutkan di atas. Maka, yang pertama itu mensucikan ruh dan membersihkan hati, dan yang kedua ia membersihkan badan. Dan masing-masing dari keduanya membantu dan menguatkan yang lainnya. Dan, fitrah badan yang paling pokok adalah khitan.”[5]

  • اَلْخِتَانُ : Memotong kulit yang menutupi kepala dzakar laki-laki dan memotong kulit yang menyerupai jengger ayam yang ada berada di atas farji perempuan (kelentit/klitoris).[6]
  • اَلشَّارِبُ : Rambut yang tumbuh di atas bibir atas. Adapun rambut yang tumbuh di sebelah kiri dan kanan bibir disebut sibâl (misai).
  • اَللِّحْيَةُ : Jenggot. Para ahli bahasa mengatakan bahwa al-lihyah yaitu rambut yang tumbuh di dagu dan rambut yang tumbuh di kedua pipi (disebut cambang).
  • إِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ : Memanjangkan jenggot, yaitu tidak memotongnya sedikit pun.
  • اَلْأَظْفَارُ : Jamak (bentuk plural) dari ظُفْرٌ, yaitu kuku.
  • اَلْبَرَاجِمُ : Jamak dari بُرْجُمَةٌ, yaitu ruas-ruas jari jemari.
  • اَلْعَانَةُ : Rambut yang tumbuh di atas dan juga di sekitar kemaluan laki-laki maupun perempuan.

SYARAH HADITS
Allâh Azza wa Jalla menciptakan hamba-hamba-Nya di atas fitrah yaitu mencintai kebenaran dan mengutamakannya, serta membenci kejelekan dan menolaknya. Allâh juga menciptakan para hamba-Nya lurus dan siap menerima kebenaran, ikhlas kepada Allâh, serta mendekatkan diri kepada-Nya.

Allâh Azza wa Jalla menjadikan syari’at fitrah ada dua macam:

Pertama, Membersihkan hati dan jiwa, dengan iman kepada Allâh, dan segala hal yang menyertainya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٣٠﴾ مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allâh disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan  pada ciptaan Allâh. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta laksanakanlah shalat  dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allâh. [ar-Rûm/30:30-31]

Maka hal tersebut dapat menyucikan jiwa, membersihkan hati dan menghidupkannya, menghilangkan penyakit-penyakit yang hina darinya, serta menghiasinya dengan akhlak-akhlak yang mulia. Ini semua kembali kepada pokok-pokok iman dan amalan-amalan hati.

Fitrah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah agama Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟

Tidak ada satu pun anak yang lahir (di muka bumi ini) kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi, seperti seekor hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat, apakah kamu merasakan adanya cacat padanya?

Kemudian Abu Hurairah z membaca firman Allâh Azza wa Jalla :

فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

(Tetaplah atas) fitrah Allâh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu [ar-Rûm/30:30].[7]

Kedua, hal yang kembali kepada pembersihan secara zhahir dan menolak kotoran-kotoran darinya, yaitu sepuluh fitrah yang disebutkan dalam hadits di atas. Sepuluh fitrah tersebut termasuk wujud keindahan agama Islam, di mana semua hal tersebut membersihkan anggota badan, menyempurnakannya agar selalu sehat dan siap untuk setiap hal yang diinginkan darinya.

Adapun berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung, keduanya disyari’atkan dalam bersuci dari hadats kecil dan hadats besar menurut kesepakatan para Ulama. Membersihkan mulut dan hidung  adalah fardhu dalam hadats kecil dan besar, karena mulut dan hidung banyak dimasuki kotoran-kotoran, bau tak sedap, dan lainnya, sehingga harus dibersihkan dan dihilangkan kotorannya.

Adapun mencukur kumis, maksudnya yaitu merapikannya sehingga bibir tetap terlihat. Ini merupakan upaya  untuk menjaga dan membersihkan diri dari kotoran yang keluar dari hidung. Juga, jika kumis dibiarkan menjulur sampai bibir, maka akan mengenai makanan dan minuman yang masuk ke mulut.

Adapun memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencuci ruas-ruas jari (dia termasuk lipatan-lipatan badan yang banyak terkumpul kotoran padanya), maka harus dibersihkan dan dihilangkan kotoran-kotorannya. Begitu juga mencukur bulu kemaluan.

Adapun bercebok (menghilangkan atau membersihkan sisa kotoran yang keluar dari qubul dan dubur dengan air atau batu), maka itu wajib dan termasuk syarat-syarat bersuci.

Anda ketahui, bahwa semua hal tersebut dapat menyempurnakan zhahir manusia, menyucikannya, dan membersihkannya, serta menolak hal-hal yang buruk dan membahayakan. Dan bersuci itu termasuk iman.

Maksudnya, bahwa fitrah mencakup seluruh syari’at, baik secara zhahir maupun batin. Karena fitrah dapat membersihkan batin manusia dari akhlak-akhlak yang tercela lalu menghiasinya dengan akhlak-akhlak yang mulia, yang kembali kepada aqidah iman dan tauhid, ikhlas kepada Allâh, kembali kepada Allâh. Serta membersihkan zhahir manusia dari segala najis, kotoran-kotoran, dan penyebabnya, dan menyucikannya secara nyata maupun maknawi. Karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ الْإِيْمَانِ.

Bersuci adalah sebagian dari iman.[8]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

 “…Allâh menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” [al-Baqarah/2:222]

Syari’at seluruhnya adalah kebersihan, penyucian, mendukung pertumbuhan, penyempurnaan, anjuran kepada perkara-perkara yang mulia dan larangan dari perkara-perkara yang hina. Wallahu a’lam.[9]

Penjelasan fitrah-fitrah tersebut sebagai berikut:

1. Khitan
Khitan disyari’atkan dalam Islam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

خَـمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ : اَلْخِتَانُ ، وَالْاِسْتِحْدَادُ ، وَقَصُّ الشَّارِبِ ، وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ.

Ada lima hal yang termasuk fitrah: khitan, mencukur bulu kemaluan, menggunting kumis, meng-gunting kuku, dan mencabut bulu ketiak.[10]

Makna fitrah dalam hadits ini adalah sunnah, yakni kelima hal tersebut menjadi sunnahnya para Nabi dan Rasul yang diakhiri dengan kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[11]

Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Adapun khitan, maka sebagian Ulama mengatakan wajib karena ia adalah bagian dari syi’ar agama, yang dengannya diketahui seseorang itu Muslim atau kafir.”[12]

Syari’at khitan bersifat umum untuk laki-laki dan perempuan berdasarkan banyaknya riwayat tentang dikhitannya perempuan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selanjutnya hingga hari ini.

Sebagian Ulama berpendapat bahwa khitan hanya wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi wanita sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qudâmah al-Maqdisi rahimahullah (wafat th. 620 H), “Berkhitan diwajibkan atas laki-laki dan merupakan kehormatan bagi wanita, bukan wajib. Ini pendapat mayoritas Ulama.”[13]

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin  rahimahullah berkata, “Pendapat yang mendekati kebenaran bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi wanita.”[14]

2. Memotong kumis
Di dalam hadits, selain menggunakan lafazh (قَصُّ) qasshu, juga disebutkan dengan lafazh (اَلْإِحْفَاءُ) al-ihfaa’, (اَلْإِنْهَاكُ) al-inhaak, (اَلْجَزُّ) al-jazz, dan (اَلْأَخْذُ) al-akhdz. Para Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan lafazh tersebut. Sebagian berpendapat memotongnya hingga terlihat kulit. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa maksud hadits adalah berlebihan dalam memotongnya. Ada juga yang berpendapat bahwa makna lafazh tersebut adalah mutlak mencukur, namun pendapat ini lemah. Sebagian Ulama berpendapat memotong bulu kumis yang sudah menjulur ke bibir atas, sedangkan bagian atas kumis dibiarkan. Itulah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini.Allâhu a’lam.[15]

Bagi yang hendak memotong kumis, diutamakan memotong sebelah kanan dahulu, kemudian baru memotong yang sebelah kiri. Yang penting ialah seseorang wajib memotong atau merapikan kumisnya, jangan membiarkannya panjang hingga menyentuh minuman dan makanan yang ia santap, agar tidak menyerupai orang-orang Majûsi atau para pendeta dan lainnya yang mengklaim bahwa diri mereka adalah sosok seorang yang zuhud.

Adapun batas waktu yang disyari’atkan dalam memotong kumis maksimal selama empat puluh hari. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وُقِّتَ لَنَا فِيْ قَصِّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيْمِ الْأَظْفَارِ، وَحَلْقِ الْعَانَةِ، وَنَتْفِ الْإِبْطِ، أَلَّا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا

Kami diberi batasan waktu dalam mencukur kumis, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, dan mencabut bulu ketiak, tidak membiarkannya lebih dari empat puluh hari.[16]

an-Nawawi rahimahullah berkata, “Maknanya adalah jangan sampai lebih dari empat puluh hari, bukan membiarkannya selama empat puluh hari.Wallahu a’lam.”[17]

3. Memelihara jenggot
Memelihara jenggot merupakan salah satu adab yang harus dilaksanakan oleh seorang Muslim. Dalam syari’at Islam, laki-laki tidak boleh mencukur jenggotnya bahkan hukumnya haram, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan laki-laki untuk memelihara dan memanjangkan jenggotnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوْا اللِّحَى،خَالِفُوْا الْـمَجُوْسَ.

Rapikanlah kumis, biarkanlah jenggot, selisihilah orang Majusi.[18]

Para Ulama berbeda pendapat, “Bolehkan memendekkan jenggot atau memotongnya jika sudah melebihi satu genggam?”

Jawabannya: Wajib hukumnya memelihara jenggot, tidak boleh memotongnya. Pendapat ini sesuai dengan konteks hadits yang memerintahkan untuk memeliharanya.

Allâh Azza wa Jalla menjadikannya kewibawaan dan keindahan bagi laki-laki. Karenanya, keindahan itu akan tetap ada sampai tua dengan adanya jenggot. Sungguh heran dengan orang yang menyelisihi sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencukur jenggotnya. Bagaimana wajahnya tetap buruk karena telah hilang keindahannya, terutama ketika sudah tua. Maka dia menjadi seperti nenek tua yang hilang keindahannya ketika sudah berumur, walaupun ketika kecil dia termasuk wanita yang paling cantik. Inilah yang dirasakan. Tetapi kebiasaan-kebiasaan dan taklid buta menjadikan sesuatu yang jelek diperbagus dan sesuatu yang bagus malah diperjelek.[19]

Maka tidak boleh bagi laki-laki mencukur jenggotnya, jika dia melakukan hal tersebut, maka dia telah menyelisihi jalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan durhaka kepada perintahnya, serta terjatuh kepada penyerupaan dengan kaum musyrik dan majusi. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

خَالِفُوْا الْمَجُوْسَ أَوِ الْمُشْرِكِيْنَ، وَفِّرُوْا اللِّحَى وَأَحْفُوْا الشَّوَارِبَ

Selisihilah orang majusi atau orang-orang musyrik. Suburkanlah jenggot kalian dan cukurlah kumis kalian.[20]

Hadits ini menunjukkan bahwa memanjangkan jenggot –yang menyelisihi orang-orang musyrik- termasuk fitrah, maka tertolaklah syubhat orang-orang yang berkata, “Sungguh, ada orang-orang kafir zaman sekarang yang memanjangkan jenggotnya. Maka tidakkah kita sepantasnya menyelisihi mereka dengan mencukur jenggot kita?” Lihatlah, ini adalah bisikan syaithan, wal ‘iyâdzu billâh.

Kita jawab syubhat tersebut, “Sesungguhnya mereka memanjangkan  jenggot karena mengikuti fitrah. Dan kita diperintahkan untuk melakukan fitrah tersebut. Jika mereka menyerupai kita dalam fitrah ini, maka kita tidak melarang mereka dan tidak perlu menyimpang dari fitrah tersebut hanya karena mereka menyamai kita. Sebagaimana jika mereka menyamai kita dalam memotong kuku, maka kita tidak mengatakan bahwa kita harus meninggalkan memotong kuku, tetapi kita harus tetap memotongnya. Begitu juga fitrah-fitrah yang lainnya, jika orang-orang kafir menyamai kita dalam hal-hal tersebut, maka kita tidak perlu menyimpang darinya. Wallahul muwaffiq.[21]

Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Mencukur jenggot bagi kaum laki-laki adalah perilaku yang buruk karena mereka seringkali meniru perilaku orang-orang kafir Eropa yang selalu mencukur jenggotnya. Mereka merasa malu jika mereka memelihara jenggot, apalagi ketika mereka menemui pengantin wanita tanpa bercukur. Dalam hal ini mereka (yang mencukur jenggotnya) telah melakukan hal-hal yang dilarang.  Di antaranya:

Pertama, Merubah ciptaan Allâh Azza wa Jalla
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

لَعَنَهُ اللَّهُ ۘ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا﴿١١٨﴾ وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا

Syaitan dilaknat Allâh, dan ia berkata, ‘Aku pasti akan mengambil bagian tertentu dari hamba-hamba-Mu, dan pasti akan aku sesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan akan aku suruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak, (lalu mereka benar-benar memotongnya), dan akan aku suruh mereka merubah ciptaan Allâh, (lalu mereka benar-benar merubahnya).’ Barangsiapa menjadikan syaitan sebagai pelindung selain Allâh, maka sungguh ia menderita kerugian yang nyata.” [An-Nisâ’/4:118-119]

Mencukur jenggot termasuk perilaku merubah apa yang ditetapkan oleh ajaran Islam.

Kedua, Melanggar perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَنْـهِكُوْا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوْا اللِّحَى

Cukurlah (guntinglah/rapikanlah) kumis dan peliharalah jenggot.[22]

Kita mengetahui bahwa perintah adalah wajib. Perintah wajib ini tidak bisa dipalingkan kepada tidak wajib kecuali ada qarînah (indikator) yang menegaskan ketidakwajibannya. Qarînah di sini justeru menguatkan kewajiban, yaitu sebagaimana yang ada pada point ketiga dan keempat berikut ini.

Ketiga, Menyerupai orang kafir.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

جُزُّوْا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوْا اللِّحَى ، خَالِفُوْا الْـمَجُوْسَ.

Cukurlah (guntinglah/rapikanlah) kumis dan peliharalah jenggot. Bedakanlah diri kalian dengan orang-orang Majusi.[23]

Keempat, Menyerupai kaum wanita.

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمُتَشَّبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki.[24]

Oleh karena itu, laki-laki yang mencukur jenggotnya telah terbukti berusaha menyerupai wanita.”[25]

an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para Ulama menyebutkan sepuluh perkara yang terlarang berkaitan dengan hukum jenggot :

  1. Menyemir jenggot dengan warna hitam, bukan dengan maksud berjihad.
  2. Menyemir jenggot dengan warna kuning karena ingin disebut orang shalih, bukan karena ingin mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
  3. Memutihkannya dengan belerang atau zat pemutih lainnya karena ingin terlihat lebih tua, agar dirinya diangkat menjadi pemimpin, ingin dihormati orang lain, atau ingin memberi kesan bahwa ia adalah sesepuh.
  4. Mencabut atau mencukur jenggot yang mulai tumbuh karena ingin terlihat awet muda atau ingin terlihat lebih tampan.
  5. Mencabut uban yang tumbuh di jenggot.
  6. Menyusun jenggot menjadi ikatan di atas ikatan agar dinilai bagus oleh kaum wanita dan lainnya.
  7. Menambah atau mencukur jambang, atau mencukur sebagian jambang, ketika mencukur kepala, mencabut rambut yang tumbuh di bawah bibir, dan lain-lain.
  8. Menyisir jenggot dengan gaya sisiran terkini untuk menarik perhatian orang banyak.
  9. Membiarkannya acak-acakan dan kurang memperhatikan jenggotnya agar dianggap sebagai orang zuhud.
  10. Memperhatikan jenggot yang hitam dan putih dengan perasaan kagum terhadap diri sendiri dan sombong, memamerkan kepada para pemuda, sekaligus membanggakannya di hadapan orang-orang tua dan anak-anak muda.
  11. Mengikat atau mengepang jenggot.
  12. Mencukur jenggot. Kecuali jika jenggot tumbuh pada wanita, maka dia boleh mencukurnya. Wallahu a’lam.[26]

4. Bersiwak
Bersiwak dapat membersihkan mulut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اَلسِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ.

Siwak dapat membersihkan mulut dan sangat diridhai oleh Allâh.[27]

Karena itulah, siwak dianjurkan pada setiap waktu, dan lebih ditekankan pada waktu wudhu, shalat, bangun dari tidur, ketika bau mulut sudah berubah, ketika warna gigi berubah kekuningan, dan lainnya.

5. Istinsyâq dengan air
Istinsyâq merupakan salah satu amalan dalam berwudhu’, tetapi dilakukan ketika wudhu’ saja. Istinsyâq dan istintsâr adalah tata cara membersihkan atau menyucikan rongga hidung dari berbagai kotoran yang menempel di dalamnya.

Istinsyâq adalah memasukkan air ke dalam rongga hidung yang paling dalam dengan menarik nafas. Dianjurkan untuk melakukannya dengan sungguh-sungguh kecuali jika seseorang sedang berpuasa. Sedangkan istintsâr adalah adalah mengeluarkan air dari dalam rongga hidung setelah melakukan istinsyaaq.

6. Memotong kuku
Maksud memotong kuku adalah membuang kuku yang panjangnya sudah melebihi ujung jari.Sebab, kotoran-kotoran sering mengumpul pada ujung kuku tersebut sehingga terlihat jorok.[28]

an-Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa disunnahkan dalam memotong kuku dengan memulainya dari kuku jari tangan baru kemudian kuku jari kaki.[29]

Sebagian orang menyelisihi sunnah ini dengan membiarkan kukunya memanjang hingga kotoran berkumpul pada ujung kukunya mirip dengan cakar-cakar hewan buas. Tentunya ini suatu hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang Muslim. Membiarkan kuku panjang banyak dilakukan oleh kaum wanita agar kukunya bisa dipakaikan kutek dengan maksud untuk kecantikan. Perbuatan ini bertentangan dengan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

7. Menyela jari-jemari
an-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun menyela jari jemari merupakan sunnah tersendiri, bukan khusus ketika berwudhu’ saja.”

Para Ulama berkata, “Hukum menyela jemari dikiaskan dengan setiap tempat berkumpulnya kotoran, seperti lubang dan daun telinga, yang dapat dibersihkan dengan cara mengusapnya. Sebab, terkadang kotoran tersebut dapat mengganggu pendengaran.Demikian juga halnya dengan kotoran yang berkumpul di tempat-tempat lain pada anggota badan, baik berupa keringat, debu, dan lain-lain.Wallahu a’lam.”[30]

8. Mencabut bulu ketiak
Permbersihan bulu ketiak boleh dilakukan dengan cara mencabut, mencukur, atau dengan cara apa saja yang dapat menghilangkannya, sebab ketiak merupakan sumber bau badan yang tidak sedap. Hanya saja, dengan cara mencabut akan menghasilkan beberapa faedah yang tidak didapati jika dilakukan dengan cara mencukurnya. Di antara faidah tersebut adalah dapat melemahkan akar bulu ketiak dan dapat mengurangi bau badan. Adapun jika dilakukan dengan cara mencukur, maka itu dapat memperkuat akar dan membuatnya lebih lebat, sehingga bau tak sedap pun akan bertambah. Oleh karena itu, mencabut bulu ketiak lebih utama daripada mencukurnya, kecuali jika ia tidak sanggup menahan sakit.

Dalam memulai mencabut bulu ketiak, disunnahkan memulai dengan yang sebelah kanan, sedangkan cara membersihkannya dengan tangan kiri. Apabila ada yang sanggup menghilangkan bulu ketiak kiri dengan jari kirinya, maka itu lebih baik.Jika tidak sanggup, maka melakukannya dengan jari kanan.[31]

9. Mencukur bulu kemaluan
an-Nawawi rahimahullah berkata, “Diriwayatkan dari Abul ‘Abbas bin Suraij: Termasuk juga rambut yang tumbuh di sekitar anus.” Dengan demikian, disunnahkan mencukur pada sekitar kemaluan dan anus. Adapun waktunya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing dan panjang pendeknya rambut tersebut. Jika sudah panjang, maka harus dicukur. Kaidah ini juga dipakai dalam merapikan kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.”[32]

10. Istinja’
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, kata intiqâsh ditafsirkan oleh Waki’ dengan istinja, yaitu mencuci kemaluan dan anus setelah buang hajat.

Ini menunjukkan bahwa agama Islam memberi dorongan kepada kaum Muslimin agar tetap menjaga kebersihan dan menebarkan aroma wangi.Ada juga yang berpendapat bahwa maksud dari kata intiqâsh adalah memercikkan sedikit air kearah kemaluan seusai mengambil wudhu’. Wallahu a’lam.

11. Berkumur-kumur
Berkumur-kumur juga termasuk salah satu amalan wudhu’ walaupun tidak khusus dilakukan pada waktu wudhu’. Berkumur-kumur adalah memasukkan air ke dalam rongga mulut, diputar-putar (dalam mulut), lalu disemburkan keluar atau mengeluarkan kembali dari mulut. Disunnahkan untuk bersungguh-sungguh ketika berkumur-kumur kecuali jika sedang berpuasa.Kumur-kumur berfungsi untuk mewangikan bau mulut dengan air, serta membuang sisa makanan yang masih menempel, yang dapat menimbulkan bau mulut tidak sedap.

 FAWAA-ID

  1. Agama Islam adalah agama fitrah.
  2. Agama Islam tidak akan bertentangan dengan fitrah dan akal yang sehat.
  3. Allâh Azza wa Jalla menciptakan hamba-hamba-Nya di atas fitrah, mencintai kebenaran, dan membenci kejelekan.
  4. Fitrah ada dua; yaitu (1) membersihkan hati dan jiwa dengan iman kepada Allâh Azza wa Jalla dan (2) membersihkan lahiriyyah serta menjauhkan kekotoran.
  5. Islam adalah agama yang indah dan
  6. Agama Islam sangat memperhatikan kebersihan lahir maupun batin.
  7. Islam mendorong para pemeluknya untuk memperhatikan kebersihan tubuhnya dan menghilangkan kotoran-kotoran yang terdapat pada dirinya.
  8. Orang Islam wajib berkhitan dan khitan merupakan syi’ar Islam yang agung.
  9. Wajib membiarkan jenggot tumbuh dan ini merupakan fitrah bagi laki-laki.
  10. Mencukur jenggot dan menggunting ujungnya adalah menyelisihi sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
  11. Barangsiapa mencukur jenggotnya maka dia berdosa.
  12. Mencukur jenggot banyak kerusakannya, di antaranya menyelisihi perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menyerupai orang-orang kafir, menyerupai kaum perempuan, dan lainnya.
  13. Diperintahkan untuk merapikan kumis, mencabut bulu ketiak, menggunting kuku, dan mencukur bulu kemaluan.
  14. Dianjurkan berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung, dan membersihkan jari-jari.
  15. Dianjurkan bersiwak ketika wudhu’, ketika shalat, dan juga pada setiap waktu.
  16. Wajib ber-istinja’ (bercebok) bila buang air besar dan kecil.
  17. Bersuci adalah wajib dan bagian dari iman.

MARAAJI’:

  1. Kutubus sittah dan Musnad Imam Ahmad.
  2. Syarh Shahîh Muslim, Imam an-Nawawi, cet. Darul Fikr.
  3. Fat-hul Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, cet. Darul Fikr.
  4. Tuhfatul Maudûd bi Ahkâmil Maulûd, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiqdan takhrij Syaikh Salim al-Hilali.
  5. Bahjatu Qulûbil Abrâr fii Syarhi Jawâmi’il Akhbâr, Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, tahqiq Abul Harits Nadir bin Sa’ad al-Mubarak, c Daar Ibnu Hazm.
  6. Syarh Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
  7. Âdâbuz Zifâf fis Sunnah al-Muthahharah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
  8. Irwâ-ul Ghalîl fii Takhrîji Ahâdîts Manâris Sabîl, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
  9. Mausû’ah al-Âdâb al-Islâmiyyah, ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada,cet. III, Daar Thaybah, th. 1428 H.
  10. Panduan keluarga Sakinah, IX, Pustaka Imam Syafi’i Jakarta.
  11. an-Nihâyah fii Gharîbil Hadîts wal Atsar, Ibnul Atsir.
  12. al-Mu’jamul Wasîth, Maktabah al-Islamiyyah.
  13. Lisânul ‘Arab, Ibnu Manzhur.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVII/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 5889, 5891, 6297), Muslim (no. 257), dan Ahmad (II/239, 410).
[2] an-Nihâyah fii Gharîbil Hadîts wal Atsar (hlm. 639).
[3] al-Mu’jamul Wasîth (hlm. 694), cet. Al-maktabah al-Islamiyyah.
[4]  Lisânul ‘Arab (X/286).
[5] Tuhfatul Maudûd bi Ahkâmil Maulûd (hlm. 269), karya Ibnu Qayyim, tahqiq dan takhrij Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
[6] Tuhfatul Maudûd bi Ahkâmil Maulûd (hlm. 257-258) dan Fat-hul Bâri (X/340).
[7]  Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 1358, 1359, 1385, 4775), Muslim (no. 2658 [22]), Abu Dâwud (no. 4714), Ahmad (II/233, 275, 315, 346, 393), Malik dalam al-Muwaththa’ (I/207, no. 52), at-Tirmidzi (no. 2138).
Dalam lafazh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Mâlik, dan sebagian riwayat al-Bukhâri dan Ahmad, disebutkan: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.” [Lihat Irwâ-ul Ghalîl (V/50) dan Shahîhul Jâmi’ (no. 5784) karya Syaikh al-Albani rahimahullah].
[8]  Shahih: HR. Muslim (no. 223).
[9]  Bahjatu Qulûbil Abrâr (hlm. 127- 131), dengan diringkas dan Tauhid Jalan Kebahagiaan, Keselamatan, dan Keberkahan Dunia Akhirat, cet. V, oleh penulis, Penerbit Media Tarbiyah, hlm. 122-124.
[10]  Shahih:HR. al-Bukhâri (no. 5891, 6297), Muslim (no. 257), Abu Dawud (no. 4198), at-Tirmidzi (no. 2756), an-Nasa-i (I/13-14), Ibnu Mâjah (no. 292) dan Ahmad (II/229, 239, 410, 489), lafazh ini milik Ahmad, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[11]  Fat-hul Bâri (X/339).
[12]  Tuhfatul Maudûd (hlm. 278-279), Fat-hul Bâri (X/342), al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab (I/300).
[13] al-Mughni ma’a asy-Syarhil Kabîr (I/107) karya Ibnu Qudamah.
[14]  Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ (I/164).
[15]  Lihat pembahasan ini secara rinci dalam kitab Fat-hul Baari (X/346-348) dan Syarhun Nawawi ‘ala Shahîh Muslim (III/151).
[16]  Shahih: HR. Muslim (no. 258), dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu.
[17] Syarh Shahîh Muslim, karya an-Nawawi (III/149).
[18] Shahih:HR. Muslim (no. 260 (55)) dan Abu ‘Awanah (I/188), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[19] Bahjatu Qulûbil Abrâr (hlm. 129).
[20]  Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 5492) dan Muslim (no. 259 [54]), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik al-Bukhâri.
[21]  Syarh Riyâdhish Shâlihîn (V/235), karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
[22]  Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 5893) dan Muslim (no. 259 (52)), dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[23]  Shahih:HR. Muslim (no. 260 (55)) dan Abu ‘Awanah (I/188), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
FAEDAH: Kalimat  yang ada pada dua hadits di atas yaitu ((أَنْهِكُوْا)) dan ((جُزُّوْا)) artinya cukurlah kumis yang melebihi bibir, bukan mencukur kumis semuanya karena mencukur kumis semuanya menyalahi Sunnah yang telah dipraktekkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Imam Mâlik rahimahullah mengatakan “bid’ah” bagi orang  yang mencukur kumis semuanya. (lihat Âdâbuz Zifâf, hlm. 209). Karena itu kedua kalimat tersebut saya artikan dengan: “guntinglah kumis” atau “rapikanlah kumis” supaya tidak dicukur habis. Wallaahu a’lam.
[24] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 5885, 6834), at-Tirmidzi (no. 2784) dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma.
[25]  Âdâbuz Zifâf (hlm. 207-210).
[26] Shahîh Muslim bisyarh an-Nawawi (I/149).
[27] Shahih: HR. al-Bukhâri (IV/137) secara mu’allaq, Ahmad (VI/47, 62, 124, 238), an-Nasa-i (I/10), asy-Syafi’i dalam al-Umm (I/52), ad-Darimi (I/174), Ibnu Hibban (no. 143-al-Mawârid), dan al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubrâ (I/34). Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 66).
[28] Fat-hul Bâri (X/344-345).
[29] Syarh Shahîh Muslim (III/190).
[30] Syarh Shahîh Muslim (III/150)
[31] Fat-hul Bâri (X/344).
[32] Syarh Shahîh Muslim (III/148-149).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/12833-sebelas-hal-yang-termasuk-fithrah.html